بَابُ مِيْرَاثِ الْوَلَاءِ
Wala’
adalah: Budak yang merdeka, sebab dimerdekakan.
.
حَدَّثَنَا أَبُو
الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنِ الزُّهْرِيِّ قَالَ عُرْوَةُ بْنُ
الزُّبَيْرٍ قَالَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا دَخَلَ عَلَيَّ رَسُوْلُ
اللهِ ﷺ فَذَكَرْتُ لَهُ،
فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ اشْتَرِي وَأَعْتِقِي
فَإِنَّمَا الْوَلَاءُ لِمَنْ أَعْتَقَ، ثُمَّ قَامَ النَّبِيُّ ﷺ مِنَ الْعَشِيِّ، فَأَثْنَى
عَلَى اللهِ بِمَا هُوَ أَهْلُهُ، ثُمَّ قَالَ: مَا بَالُ أُنَاسٍ يَشْتَرِطُوْنَ
شُرُوْطًا لَيْسَ فِيْ كِتَابِ اللهِ، مَنِ اشْتَرَطَ شَرْطًا لَيْسَ فِي كِتَابِ
اللهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنِ الشْتَرَطَ مِائَةَ شَرْطٍ شَرْطُ اللهِ أَحَقُّ
وَأَوْثَقُ. رواه البخاري فى كتاب البيوع
Artinya: ‘Aisyah
berkata: Nabi datang kepadaku, lalu Aku menceritakan sesuatu kepada Nabi (1). Lalu Nabi SAW Bersabda: “Wahai ‘Aisyah...
Beli dan Merdekakanlah pada budak tersebut. Sesunggguhnya waristannya Wala’
untuk orang yang memerdekakan”. Kemudian Nabi SAW berdiri, untuk Nashihat
diwaktu Sore. Lantas Nabi Bersabda kepada Para Shahabat: “Mengapa Kebanyakan
Manusia, membuat syarat tampa dasar dalil Al-Qu’an. Ketahuilah Syarat apapun
yang tidak sesuai dalil Al-Qur’an maka hukumnya Batal (Tidak Shah). Meskipun
Manusia membuat 100 Syarat, tentang suatu Hukum, tetap Syaratnya Allahlah yang
lebih benar dan lebih quat”. HR Bukhari
fi Kitabil Buyu’
(1)Ada
seorang Budak bernama bariroh yang ingin merdeka dengan cara mencicil, kemudian
majikannya menentukan harga dari kemerdekaan budak tersebut. Harga budak
tersebut adalah 9 ‘Auq (1 ‘Auq = 4 Dinar). Harga tersebut dapat Ia cicil selama
9 Tahun. Lalu ‘Aisyah ingin membeli budak Barirah tersebut, kemudian lansung
dimerdekakan. Namun sebelum si Majikan menjual Barirah kepada ‘Aisyah, Dia
memberi sebuah Syarat yang isinya: Jika Bariroh meninggal, maka Waristan
Wala’nya untuk Saya Majikan.
Hikmahnya:
1.
Seorang Wala’ yang
mati tampa meninggalkan Ahli Warist, maka Waristannya untuk Orang yang
memerdekakan. Walaupun yang memerdekakan adalah seorang Perempuan (Mu’thiqah),
dan walaupun tidak memiliki hubungan Nashab (contoh antara ‘Aisyah dan Barirah,
yang tidak memiliki hubungan Nasab).
2.
Ada 3 sebab seseorang
bisa mendapatkan waristan (Ashbabul Irsti), Pertama: Karena memerdekakan (Mu’thiq/
Mu’thiqah), Kedua: Karena pernikahan (Zauj/ Zaujah), Ketiga: Karena Nasab
(Ashlul Warist/ Far’ul Warist/ Saudara).
حَدَّثَنَا أَبُوْ
بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَعَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمٰنِ بْنِ الْأَصْبَهَانِيِّ عَنْ مُجَاهِدِ بْنِ وَرْدَانِ
عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنَّ
مَوْلًى لِلنَّبِيِّ ﷺ وَقَعَ مِنْ نَخْلَةٍ
فَمَاتَ وَتَرَكَ مَالًا وَلَمْ يَتْرُكْ وَلَدًا وَلَا حَمِيمًا فَقَالَ
النَّبِيُّ ﷺ أَعْطُوْا مِيْرَاثَهُ
رَجُلًا مِنْ أَهْلِ قَرْيَتِهِ. رواه ابن ماجة فى كتاب
الفرائض
Artinya: Suatu ketika,
Bekas Budaknya Nabi SAW (budak yang telah dimerdekakan Nabi) jatuh dari
kendaraan, kemudian mati meninggal harta, namun tidak memiliki anak dan famili
(tidak ada ahli warist). Lalu Nabi memerintahkan untuk membagi harta Wala’ tersebut
kepada Orang-orang yang sekampung dengan Bekas Budak tersebut. HR. Bukhari fi Kitabil Faroidh
Dalam Hadist pertama yang di Riwayatkan oleh Urwah Bin Zubair,
dijelaskan bahwa: Harta Wala’ Maulan/ Bekas Budak, jika tidak ada Ahli Warist
maka untuk yang memerdekakan.
Pada Hadist diatas, walaupun yang memerdekakan Nabi, namun Nabi
tidak mengambil harta wala’ tersebut, karena Para Nabi Tidak di warist atau
mewarist Dinar & Dirham.
...وَإِنّ الْأَنْبِيَاءِ
لَمْ يُوَرِّثُ دِيْنَارًا وَلَا دِرْهَمًا... رواه أبو داود صحيح Sesungguhnya Para Nabi tidak mewariskan dinar
dan dirham
Hikmahnya: Jika Maulan meninggal tampa Ahli Warist, maka harta wala’nya
untuk Mu’tiqo/ Orang Memerdekakannya. Kecuali yang memerdekakan Nabi, maka
harta wala’nya Bukan untuk Mu’tiqo (bukan untuk Nabi).
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ
بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا حُسَيْنُ بْنُ عَلِيٍّ عَنْ زَائِدَةَ عَنْ
مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمٰنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى عَنِ الْحَكَمِ عَنْ عَبْدِ
اللهِ بْنِ شَدَّادٍ عَنْ بِنْتِ حَمْزَةَ، {قَالَ
مُحَمَّدٌ يَعْنِى ابْنَ أَبِى لَيْلَى: وَهِيَ أُخْتُ ابْنِ شَدَّادٍ لِأُمِّهِ}
قَالَتْ مَاتَ مَوْلَايَ وَتَرَكَ ابْنَةً فَقَسَمَ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ مَالَهُ بَيْنِي وَبَيْنَ ابْنَتِهِ
فَجَعَلَ لِيَ النِّصْفَ وَلَهَا النِّصْفَ. رواه ابن ماجة فى كتاب
الفرائض
Artinya: Binti Hamzah
bercerita: Bekas Budak yang telah ia merdekakan mati, meninggalkan 1 Anak Perempuan
sebagai Ahli Warist tunggal. Maka Nabi membagi Harta Peninggalannya Maulan
menjadi dua, sebagian untuk saya, sebagiannya lagi untuk 1 anak perempuannya.
Sebagai penjelasan: 1/2 bagian untuk 1 anak perempuan, merupakan
ketentuan Allah dalam Al-Qur’an (Wa in kanat wahidatan, falaha Nisfu = Jika
seseorang hanya mempunyai satu anak perempuan, maka bagiannya setengah). 1/2 bagian
untuk Binti Hamzah merupakan haqnya sebagai Mu’tiqotun (Orang yang
memerdekakan).
Dari semua hadist pada kiriman ini, dapat disimpulkan 3 Syarat
Warist (Syurutul Irsti)
1. Jelas Kematiannya Seseorang,
2. Jelas Hidupnya Ahli Warist, &
3. Memiliki Ilmu Membagi Waristan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar